Kamis, 01 Juli 2010

TEORI SASTRA DARI MARXIS SAMPAI RASIS

Judul : Teori Sastra, dari Marxis sampai Rasis
Penulis : Sainul Hermawan
Tebal : 220 hal
Tahun : 2005
Penerbit: PBS FKIP Unlam Banjarmasin

Teori sastra merupakan salah satu bagian dari tiga bidang studi sastra. Dua bidang yang lainnya adalah sejarah sastra dan kritik sastra. Sejak lama ketiganya dipandang saling berkaitan erat dalam pengertian ketiganya tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan bidang yang lain dalam memahami fenomena kesastraan.
Dengan demikian, pemahaman yang baik tentang sastra melalui matakuliah teori sastra akan sangat menunjang penguasaan matakuliah lain yang terkait dengan sastra, yaitu sejarah sastra dan kritik sastra. Oleh karena itu, di Program Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia dan Daerah, FKIP Unlam, matakuliah teori sastra diberikan kepada mahasiswa semester pertama mengingat pentingnya matakuliah ini dalam memberikan dasar-dasar teoretis bagi pembelajaran sastra pada jenjang semester selanjutnya.
Peran buku ajar teori sastra untuk perkuliahan teori sastra tentu sangat fundamental. Akan tetapi, sangat disayangkan, buku-buku yang telah ada dan pernah diujicobakan di kelas teori sastra dan kritik sastra masih sulit dipahami oleh mahasiswa baru yang belum punya pemahaman dasar sebelumnya yang kuat mengenai sastra. Bahkan mahasiswa lama yang telah dibekali pengetahuan teoretik tentang sastra masih banyak yang mengaku mengalami kesulitan memahami bahasa konseptual dalam buku-buku teori sastra yang kurang diberi ilustrasi yang memadai, yang dapat mengantarkan mereka ke pemahaman yang benar tentang konsep-konsep sastra.
Kesulitan memahami buku-buku teori sastra yang ada antara lain disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, masih banyak buku-buku teori sastra terbaru yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, terutama buku-buku bahasa asing yang mulai ditulis untuk kepentingan yang lebih praktis dalam upaya pembelajaran teori sastra yang “menyenangkan’. Buku Raman Selden, Practicing Theory and Reading Literature: An Introduction (1989), misalnya, yang memberikan panduan praktis untuk mengkaji karya sastra dengan teori-teori sastra mutakhir, tidak mampu memberikan panduan banyak pada mahasiswa yang mempelajari sastra karena buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Meskipun kelak buku ini diterjemahkan, contoh-contoh kasus yang dipakainya adalah bukan dari kasus kesastraan Indonesia, sehingga buku tersebut juga bukan jalan termudah untuk memahami konsep teori sastra dalam kaitannya dengan kasus sastra Indonesia dan daerah. Kedua, buku-buku yang mencoba membuat intisari teori-teori sastra cenderung melakukan generalisasi yang serampangan dan miskin ilustasi dari kasus-kasus kesusastraan Indonesia.
Meskipun buku semacam ini telah berupaya merangkum, tetap saja menyulitkan pemahaman karena tampaknya buku semacam ini tidak ditulis untuk kepentingan yang spesifik seperti kepentingan yang akan dilakukan oleh buku ini. Buku ini secara teoretik bermanfaat sebagai buku pendamping untuk memahami buku-buku teori sastra yang lain. Karena buku ini ditulis agar dapat dijangkau oleh pemahaman para pemula, tentu bahasanya yang sederhana dapat mengantarkan ke pemahaman yang lebih kompleks dari teori sastra yang ada tetapi ditulis untuk tingkat pemahaman teori yang lebih tinggi.
Secara praktis, buku ini merangkum kebutuhan para pemula dalam memahami teori sastra. Nilai ekonomisnya, mereka cukup menggunakan buku ini untuk keperluan pembelajaran sastra dalam satu semester pembelajaran karena buku ini menyaripatikan pokok-pokok teori dan contoh-contoh aktualnya dalam sastra Indonesia dari beragam sumber.
Selain dapat digunakan secara khusus untuk mengajar teori sastra, buku ajar teori sastra ini juga dapat digunakan oleh matakuliah lain yang terkait, seperti matakuliah pengkajian puisi, prosa, dan drama; matakuliah apresiasi puisi, prosa, dan drama; matakuliah sejarah sastra; matakuliah penelitian sastra; dan matakuliah kritik sastra.


MENUJU TEORI SASTRA DALAM NEGERI
Oleh Puji Santosa

Berbagai cara dapat kita lakukan untuk dapat mengenal dan mengetahui teori sastra. Salah satu cara yang umum kita lakukan adalah mengenal teori sastra Barat. Dari membaca buku dalam bahasa aslinya (Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman) sampai membaca buku melalui terjemahan, seperti buku Rene Wellek dan Austin Warren (1949) Theory of Literature (diterjemahkan Melani Budianta menjadi Teori Kesusastraan, 1989), buku D.W. Fokkema dan Elrud Kunne-Ibsch (1977) Theories of Literature in the Twentieth Century (diterjemahkan J. Praptadiharja dan Kepler Silaban menjadi Teori Sastra Abad Kedua Puluh, 1998), buku Raman Selden (1985) A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory (diterjemahkan Rachmat Djoko Pradopo menjadi Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini, 1991), buku Tzvetan Todorov (1968) Qu’est-ce que le structuralisme? Poétique (diterjemahkan Okke K.S. Zaimar, Apsanti Djokosuyatno, dan Talha Bachmid menjadi Tata Sastra, 1985), dan buku Jan van Luxemburg, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn (1982, 1987) Inleiding in de Literatuurwetenschap dan Over Literatuur (buku pertama diterjemahkan Dick Hartoko menjadi Pengantar Ilmu Sastra, 1984, dan buku kedua diterjemahkan Akhadiati Ikram menjadi Tentang Sastra, 1989), atau kita berkenalan langsung dengan teori sastra Barat itu dengan cara membaca buku A. Teeuw (1984) Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra.
Berdasarkan data di atas jelas bahwa buku teori sastra yang beredar di Indonesia pada umumnya ditulis oleh penulis asing, dan terutama tentang teori sastra Barat. Orang Indonesia pada umumnya baru sampai pada taraf menjadi penerjemah. Namun, ada satu dua orang yang sudah memberanikan diri menulis buku teori sastra yang bersumber dari buku teori sastra Barat tersebut, yaitu Joseph Yapi Taum (1997) Pengantar Teori Sastra dan Budi Darma (2004) Pengantar Teori Sastra. Kedua-duanya memberi judul buku yang sama dan mencoba meramu, merumuskan, dan memberi penjelasan tentang teori sastra–terutama teori sastra Barat–dengan sudut pandang, fokus bahasan, dan gaya penyajian yang berbeda.
Buku Pengantar Teori Sastra yang ditulis Joseph Yapi Taum terdiri atas 6 bab, yaitu (1) Pendahuluan, (2) Teori-Teori Ekspresivisme: Munculnya Paham Individualisme dan Otonomi, (3) Teori Formalisme, Strukturalisme, Semiotik, dan Dekonstruksi, (4) Teori-Teori Sosiologi Sastra, (5) Teori-Teori Resepsi Sastra, dan (6) Catatan Penutup: Hakikat dan Relevansi Teori Sastra. Sementara itu, buku Pengantar Teori Sastra yang ditulis Budi Darma ini hanya terdiri atas 5 bab, yaitu Bab I Sastra dan Studi Sastra, Bab II Makna Sastra, Bab III New Criticism (Kritik Sastra Baru), Bab IV New Criticism dan Strukturalisme, dan Bab V Psikologi dan Sastra. Melihat daftar isi dari kedua buku yang berjudul sama tentu sudah dapat kita rasakan perbedaannya. Apa dan bagaimana bedanya?
Joseph Yapi Taum dalam bukunya Pengantar Teori Sastra itu mencoba menstransformasikan teori-teori sastra Barat dengan sudut pandang dan fokus bahasan berorientasi pada teori pendekatan M.H. Abrams–meliputi ekspresif, objektif, mimetik, pragmatik–yang dikombinasikan dengan teori komunikasi linguistik Roman Jakobson, yang meliputi pengirim, pesan, pendengar, konteks, hubungan, dan kode. Dari dua pakar teori sastra itu, Abrams dan Jakobson, dihasilkan kecenderungan teori sastra yang ada hingga kini, meliputi Romantik, Marxis, Formalistik, Strukturalistik, dan Orientasi Pembaca. Dasar pandangan kedua pakar teori sastra itulah yang dijabarkan oleh Joseph Yapi Taum dalam bukunya Pengantar Teori Sastra , setebal 83 halaman yang diterbitkan oleh Nusa Indah, Ende-Flores.
Pengantar Teori Sastra yang ditulis Budi Darma ini diluncurkan oleh Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Bambang Sudibyo, bertepatan dengan “Pembukaan Bulan Bahasa dan Sastra 2005" di Pusat Bahasa, Jakarta, 19 September 2005. Sebagai sebuah buku pengantar ilmu sastra, Pengantar Teori Sastra, yang ditulis Budi Darma ini cukup berat bagi mahasiswa S-1 atau pembaca pemula. Bobot keberatan bagi pembaca pemula itu tidak hanya menyangkut pokok bahasan, bahasa, dan penyajian, tetapi juga daftar pustaka atau bibliografi yang menjadi acuan buku ini. Daftar bibliografi yang tertera (halaman 160–162) mencakupi 36 judul buku atau artikel, hanya terdapat 3 yang berbahasa Indonesia/Melayu, yaitu “Kritik Cerpen: Seni” tulisan Budi Darma sendiri, Kritikan Sastra Moden: Teori dan Pendekatan yang ditulis Mana Sikana (Malaysia), dan terjemahan Melani Budianta Teori Kesusastraan. Jadi, lebih dari 90% bibliografinya berbahasa asing, terutama Inggris, yang tentunya di Indonesia buku-buku itu sulit ditemukan.
Budi Darma membedakan ruang lingkup sastra adalah kreativitas penciptaan dan ruang lingkup studi sastra adalah ilmu dengan sastra sebagai objeknya. Fokus sastra adalah kreativitas (puisi, drama, novel, dan cerpen), dan fokus studi sastra adalah ilmu (teori, kritik, dan sejarah sastra). Pertanggungjawaban sastra adalah estetika, dan pertanggungjawaban studi sastra adalah logika, demikian Budi Darma mengawali tulisannya dalam “Bab I Sastra dan Studi Sastra” yang dilanjutkan dengan pembahasan subbab yang lainnya, yaitu “Teks dan Konteks”, “Cabang Studi Sastra”, “Sastra Serius dan Sastra Hiburan”, “Kriteria Sastra”, “Belle Lettres dan Literature”, “Kanon Sastra”, “Intrinsik, Ekstrinsik, dan Sastra Mainstream”, “Letak Teori Sastra”, dan diakhiri dengan pembahasan “Lima Cabang Studi Sastra”. Cukup banyak subbab yang disampaikan dalam Bab I ini, tetapi pembahasannya hanya selintas, kadang cuma tiga alinea.
Dalam Bab II ,“Makna Sastra”, Budi Darma mencoba menjelaskan kaitan sastra dan studi sastra dengan bidang yang lain, seperti filsafat, pemikiran, mimesis, fiksionalitas, weltanschauung, dan world view. Contoh karya sastra yang digunakan untuk menjelaskan makna sastra adalah Belenggu karya Armijn Pane yang minus moral dan tinggi estetika atau sebaliknya Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana yang minus estetika dan tinggi moral seperti menggurui. Sementara itu, karya sastra dunia yang digunakan contoh untuk menjelaskan makna sastra ini, antara lain, drama Julius Caesar karya William Shakespeare, Mitos Sisipus dan Orang Asing karya Albert Camus, Nausea dan No Exit karya Jean-Paul Sartre, Dr. Faustus dan Tamburlaine the Great karya Christopher Marlowe, Anna Karenina karya Leo Tolstoy, Faust karya Goethe, Emilia Galotti karya Lessing, serta The Mill on the Floss karya George Eliot. Apabila kita tidak pernah membaca karya dunia itu, tentu kita akan mengalami kesulitan memahami penjelasan guru besar ilmu sastra dari Universitas Negeri Surabaya dalam Bab II ini.
Penjelajahan ke mashab teori sastra New Criticism (Kritik Sastra Baru) dan Strukturalisme dapat kita ikutan dalam Bab III dan IV. New Criticism yang lahir sebagai reaksi terhadap kritik sastra sejarah dan kritik sastra biografi, meskipun hanya hidup selama 20 tahun (1940–1960), dalam praktiknya hingga kini masih banyak diterapkan oleh kritikus dan peneliti sastra. Budi Darma mencatat ada 12 langkah kerja New Criticism, yaitu close reading, empiris, otonomi, concreteness, bentuk (form), diksi (pilihan kata), tone (nada), metafora, simile, onomatopea, paradoks, dan ironi. Titik berat kajian New Criticism adalah puisi. Ada sepuluh hal kesulitan memahami puisi yang digunakan sebagai pedoman orang-orang New Criticism, yaitu making out the plain sense of poetry, sensuous apprehension, visual imagery, mnemonic irrelevancies, stock response, sentimentalities, inhibition, doctrinal adhesions, technical presuppositions, dan general critical preconception.
Bersamaan dengan New Criticism, lahir pulalah mashab baru Formalisme Rusia yang lebih berorientasi pada bentuk (form) dengan titik berat kajian pada narasi atau cerita. Formalisme Rusia inilah yang menjadi cikal bakal Aliran Praha atau Strukturalisme Praha. Selain berorientasi pada bentuk, mereka juga menganggap penting otonomi, karya sastra adalah sesuatu yang mandiri dan berdiri sendiri. Dari kedua aliran itulah kemudian berkembang menjadi strukturalisme yang luas di Amerika Serikat dan Eropa. Strukturalisme yang berkembang masuk ke berbagai bidang ilmu, seperti linguistik, sastra, antropologi, mitologi, sejarah, dan psikologi. Kedekatan strukturalisme dengan zaman purba, terutama mitologi, dan kepercayaan dengan menampik eksistensialisme, dicap sebagai primitivisme. Jasa strukturalisme tidak dapat dihilangkan begitu saja dalam percaturan dunia ilmu, terutama dengan filsafat fenomenologi dan hermeneutika.
Budi Darma menutup tulisannya dengan Bab V “Psikologi dan Sastra”. Psikologi pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan mitologi Yunani Kuno, misalnya ‘histeria’, ‘oedipus kompleks’, dan ‘narsisisme’. Mitologi Yunani Kuno termasuk kategori sastra. Itulah sebabnya, Budi Darma dalam bab ini menjelaskan hubungan “Freud dan Mitologi”, “Psikologi, Seni, dan Sastra”, “Psikologi Personalitas”, “Psikologi Behaviorisme”, “Psikoanalisis (Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, Jacques Lacan)”, dan “Psikoanalisa dalam Strukturalisme (Ferdinand Lacan)”. Bagaimana pun psikologi dan sastra tidak dapat dipisahkan dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman. Kedua bidang itu saling meresap satu dengan yang lainnya. Ada psikologi pengarang, psikologi pembaca, dan psikologi tokoh dalam karya sastra.
Buku Pengantar Teori Sastra yang ditulis oleh Budi Darma ini meski tampak bersahaja, baik kulit luar bukunya maupun bab penyajiannya, kualitas isi buku ini boleh diandalkan. Apalagi buku itu ditulis oleh orang Indonesia sendiri yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang luas. Hal itu tentu sangat mendorong lahirnya teori (dan kritik) sastra produksi dalam negeri. Sebagai pembuka jalan “Menuju Teori (dan Kritik) Sastra Produksi dalam Negeri”, buku Pengantar Teori Sastra yang ditulis oleh Budi Darma ini boleh kita acungi jempol. Kekurangan dalam buku ini tentu jelas ada. Penggunaan istilah, contoh karya sastra, dan penyunting buku yang kurang paham dengan sastra membuat banyak kelemahan buku ini. Apalagi kalau pembaca menuntut sebuah teori sastra yang lengkap, utuh, dan terpadu, baik teori sastra Barat maupun Timur, tentu buku ini jauh dari memadai. Apa mau dikata, inilah wajah orang Indonesia yang berpendidikan Barat menulis buku acuan teori sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar